Oleh : Tri Bowo F.
Hariyanto
Pernahkah
kamu merasakan sesuatu yang mengusikmu? Bukan seperti itu,! Ini terus saja dan
terus mengusikmu? Bukan hanya sehari dua hari, namun ini lebih dari satu tahun
yang lalu.
Malam itu , di temani sejuknya angin malam dan rintikan
air, berselimut gelapnya kehidupan di saat sang surya menyembunyikan wajahnya, aku
ingin memberikan sebuah surat kecil yang kutulis dengan tinta cinta beralaskan
kepercayaan yang menyatu dengan nada kebahagian kepada seseorang yang telah
lama kukenal. Bukan untuk apa-apa, namun hanya untuk mengatakan sebuah kata
yang dianggap tabu bagi kami saat ini. Ya, karna kami baru duduk di kelas XI
jadi kata itu masih belum layak untuk kukatakan.
Jarum jam kini sudah mulai naik ke angka 8, namun aku
masih saja termenung di antara rintikan hujan yang memukul dinding kaca
sehingga tampak aliran yang tak berarah. Sedangku hanya diam dan lagi lagi
hanya diam disudut pintu yang tampak kokoh siap untuk menyambut tamu yang akan
datang. Tak tau apa yang ada difikiranku, aku tetap saja tak beranjak dari
tempatku tadi. Huft ,jika aku seorang penyair , mungkin sudah ku ubah rintikan
hujan dan suasana malam ini menjadi sebuah kata-kata dan cerita puitis dan
menyentuh hati bagi setiap orang yang membacanya,namun
inilah realita, aku hanya seorang siswa SMK yang tak berbakat apapun tentang
sastra dan seni, aku juga hanya seonggak daging yang tak tau mana jalan yang
harus ku tempuh.
Berkahnya telah usai, sedangku masih saja duduk termenung
di depan pintu. Aku bagai seorang yang lumpuh, tak bergerak dan tak ada respon
dari setiap panggilan yang dilontarkan orang tuaku. Namun kali ini tatapanku
pun beralih pada sebuah amplop yang berisi kata-kata manis yang telah kubuat
siang tadi. “ Bisa kah aku menyampaikan hal ini sendiri? Maukah dia menerima
pesan ini?” itulah yang ada di fikiranku saat ini. Hampir 10 menit hujan telah
berhenti, namun hujan di hati ini semakin deras. Aku tidak tau apa yang harus
kulakukan, penuh kebimbangan, dan tak bisa berfikir apa. Namun malam semakin
larut, suara dari para katak pun mulai terdengar. Lalu kubawa tubuh kosongku
ini ke istana kecil yang membawaku kedalam ilusi sementara didalam mimpi.
Angin berlari riang, cahaya menyorot bumi, burung-burung
bernyanyi, jejak awan tertatah dilangit biru. Aku yang sedang tertidur pun
tersentak bangun mendengar ocehan jam walker yang begitu keras bak petir yang
menyambar dahan. Mataku tertuju pada angka 7.00am yang terpampang jelas di
penunjuk waktu. Minggu, hari ini adalah hari minggu, sehingga aku tidak perlu
bergegas kesekolah seperti biasanya. Namun anenhnya, aku masih saja teringat
tentangnya, padahal semalam nyaliku telah tenggelam di tengah hujan yang
melanda bumi dan hati ini. Bunga-bunga yang layu setelah terkena banjir semalam,
seakan-akan saat ini bersemi kembali dengan semangat pagi dan harapan yang
baru. Entah bagaimana bisa? aku sendiri pun tidak tau, hal itu selalu
mengganggu dan mengusikku, tiap kali surat itu dan kata itu ingin ku serahkan
dan kulontarkan kepadanya, namun secara tiba-tiba diriku luluh lantak dan tak
memiliki keberanian sama sekali. Tetapi saat aku terbangun di pagi hari,
harapan dan keinginan baru pun tumbuh lebih segar dan lebih subur. Perasaan itu
tak pernah bisa mati, meskipun kadang hati ini tersayat oleh kebodohanku
sendiri, meski kadang seakan-akan diri ini telah menyerah, meski kadang eluh
kesah menggumam dibibirku, meski kadang asaku mulai putus, namun ketika mentari
mulai menampakan diri dan nyanyian burung pagi terdengar, semua itu hilang dan
sirna, layaknya terganti dengan harapan dan kesempatan baru di depan mata. Aneh
nya sampai saat ini pesan dan kata itu masih tersimpan dan masih belum juga
sampai di telinga dan hatinya.
Hah..begitulah hidup, ada saat dimana kita mulai menyerah
dan menangis, namun ketiga sorot pagi mulai menerangi bumi, tirai kesempatan
dan harapan baru pun ikut terbuka. Meskipun banyak orang yang mengatakan usaha
dan penantian yang kulakukan hingga saat ini sia-sia, namun aku tetap pada
konsistensi yang aku pilih. Karna ada seorang bijak yang berkata “Hidup tanpa
pendirian dan konsistensi, bagai seonggak sampah yang terombang ambing di
lautan”.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar